KESEHATAN ANAK

Benarkah Disleksia Sekadar Sulit Baca Tulis?

Istilah disleksia makin marak kita dengar saat ini, bahkan saking nge’hits’-nya, seringkali penggunaannya disematkan pada berbagai kondisi kesulitan baca tulis yang ditemui sehari-hari. Pertanyaannya: Benrkah disleksia sekadar sulit baca tulis?

Dr. Kristiantini Dewi, Sp. A - Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia | 15 Oktober 2021

Oktober dicanangkan sebagai Bulan Peduli Disleksia. Mari pahami dengan benar, apa dan bagaimana disleksia pada anak dan cara mengantisipasinya.

Tidak semua orang yang sulit baca tulis adalah penyandang disleksia. Begitu juga, tidak semua kondisi disleksia menunjukkan gejala utama di seputaran urusan baca tulis saja. Nah, daripada kita terjerat mitos-mitos yang tidak jelas ujung pangkalnya, yuk simak penjelasan berikut ini.

Kesulitan memahami kata

Disleksia berasal dari bahasa Greek, yaitu ‘dys’ yang berarti ‘sulit’, dan ‘lexia’ yang berarti ‘kata’. Jadi disleksia artinya kesulitan di area kata-kata. Namun penelitian terkini menunjukkan bahwa inti permasalahan pada disleksia adalah area perkembangan berbahasa dan area kemampuan Executive Function (EF).

Menariknya, sekalipun ada masalah pada kedua area tersebut, individu penyandang disleksia adalah orang-orang dengan kemampuan kognisi yang baik. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka adalah orang-orang jenius, sebut saja Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura pertama), Albert Einsten (ilmuwan penemu teori relativitas), Richard Branson (pengusaha tingkat dunia), Steven Spielberg (sutradara dan produser film ternama), dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dunia lainnya.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cara otak individu yang disleksik mengolah informasi (termasuk simbol, huruf, angka, dan lain sebagainya) lebih unik dibandingkan dengan individu yang tipikal (bukan disleksia). Mereka menempuh sirkuit saraf yang lebih kompleks, dan mengaktivasi bagian otak yang berbeda dibandingkan dengan individu bukan disleksia.

Itu sebabnya mengapa para penyandang disleksia seringkali menunjukkan kreativitas yang tinggi, cara berpikir unik, dan cara penyelesaian masalah yang tidak biasa.

Namun di sisi lain, mereka juga membutuhkan waktu lebih lama untuk mengolah informasi, memahami situasi dan masalah yang dihadapi, mengerjakan rencana secara terstruktur dan sistematis. Ditambah lagi, seringkali mereka memiliki kapasitas memori kerja yang terbatas, sehingga mudah sekali lupa jika tidak dibarengi dengan berbagai strategi pencatatan yang baik.

Individu dengan disleksia seringkali tampil bersamaan dengan gangguan penyerta lain. Gangguan penyerta tersering adalah Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau yang lebih dikenal sebagai Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Selain GPPH, gangguan penyerta lain adalah Developmental Coordination Disorder (DCD) atau yang sering dikenal sebagai ‘dyspraxia’.

Adanya kehadiran ADHD dan DCD ini sebagai komorbid atau penyerta disleksia disebabkan oleh adanya kesamaan gen yang bertanggung jawab atas disleksia, ADHD, dan DCD itu sendiri. Jadi, sangat mungkin seorang individu disleksia ternyata juga menyandang ADHD dan DCD.

Anak dengan disleksia di usia pra-sekolah

Menunjukkan gejala di area keterampilan berbahasa ekspresif, yaitu kemampuan untuk mengungkapkan ide, pikiran dan perasaan secara verbal. Sekalipun anak tidak bermasalah dalam pemahaman bahasa, namun ada kendala seperti:

  • Minim kosa kata verbal.
  • Kesulitan membedakan bunyi-bunyi huruf yang mirip, sehingga kata-katanya terdengar unik dan lucu.
  • Kesulitan melafalkan kata dengan suku kata yang banyak atau kompleks.
  • Sulit menggunakan diksi yang tepat untuk menamakan benda atau situasi tertentu, dan sebagainya.
  • Gangguan EF yang bisa dilihat di usia prasekolah adalah sifat mudah lupa, grusa grusu atau terburu-buru, dan kurang fleksibel terhadap perubahan situasi atau situasi yang baru.

Anak-anak yang memiliki komorbid ADHD bisa menunjukkan perilaku hiperaktifnya, sedangkan anak-anak dengan komorbid DCD tampak cukup berjuang untuk melakukan aktivitas bina diri dengan terampil (lepas pasang pakaian, kancing, tali sepatu; makan minum sendiri dengan rapi, dll). Disleksia yang disertai DCD juga kelihatan kurang luwes dalam hal koordinasi gerakan motorik, misalnya kegiatan olahraga, sehingga anak cenderung enggan ikut berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan fisik di sekolah.

Anak disleksia di usia sekolah

Perkembangan berbahasa yang menjadi masalah adalah bahasa tulisan, dimana anak mulai dituntut menguasai dan memaknai berbagai simbol/lambang seperti huruf, angka, lambang operasional matematika, dan sebagainya.

Tampak nyata bahwa anak dengan disleksia mengalami kesulitan baca tulis. Di awal masa Sekolah Dasar mungkin ia nampak sebagai anak yang sulit membedakan bentuk huruf yang mirip, atau lambat dalam membaca, atau banyak kesulitan membaca kata-kata kompleks, berimbuhan, dan lainnya.

Kesulitan di area berbahasa bisa merembet pada kesulitan di mata ajar yang lain, karena semua pelajaran relatif membutuhkan kemampuan baca tulis dan pemahaman yang baik. Jadi bisa saja anak juga menunjukkan kesulitan dalam memahami soal cerita di matematika, kesulitan memahami tema-tema dalam pelajaran tematik, atau memahami informasi dalam bahan bacaannya tersebut.

Apakah disleksia bisa sembuh?

Seperti telah dijelaskan, disleksia merupakan kondisi yang berbasis faktor genetik sehingga tidak ada istilah sembuh. Namun jangan berkecil hati, dengan pengelolaan yang tepat dari tenaga ahli, maka individu dengan disleksia dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Anak dengan disleksia dapat mengoptimalkan keunggulan dan kreativitasnya sehingga kelak mampu bersinar menjadi orang-orang sukses di masa mendatang. Dengan demikian terjawab sudah pertanyaan: Benarkah diselaksia sekadar sulit baca tulis?

Polling
Perlukah anak di imunisasi?
Silahkan Login untuk isi Polling LIHAT HASIL
Komentar
Silahkan Login untuk komentar
Punya pertanyaan seputar Ibu dan anak? Kamu bisa bertanya pada ahlinya di sini

Kirim Pertanyaan